asiknya menang lomba nulis novel...
Mugiono, S.Pd
Selasa, 03 Desember 2013
Kamis, 28 November 2013
Rabu, 02 Oktober 2013
kilasan novel "3 pilihan"
1
POHON KEPUTUSAN
[Kota Arashiyama, Jepang. bulan Maret, 2010]
Jam digital
menunjukkan angka 20:13
Seperti sinar
berlian di atas Sungai Katsura di malam hari. Kilat-kilat pancaran sinar rembulan
yang dipantulkan beningnya air sungai. Kedua pasangan itu duduk dengan
pandangan penuh pasrah. Waktu memberikan ruang keputusan yang cerah. Kehangatan
yang selama ini mereka jalani runtuh sudah. Seruntuhnya tembok berlin, jerman.
Rasa itu memang masih ada di hati keduanya. Tapi, keharuman mawar mekar tak
akan abadi. Waktu membuat keharuman cinta mereka yang mekar telah gugur. Tapi,
mereka membawanya dalam suasana ringan. Mereka saling menerima keputusan ini.
Waktu
menghentikan keabadian. Mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Di bawah
lampu taman, di tas kursi hitam di tepi sungai Kastura mereka menerima
keputusan ini. Cinta mereka perlu pendewasaan. Bukan kan suatu hubungan perlu pengertian satu sama lain? laki-laki
dan perempuan itu belum menemukan satu jalan yang saling beriringan.
Raavi dan Tami
sama-sama serakah. Raavi serakah dengan proyek-proyek pembangunan di Jepang
setelah lulus dari S1, Arsitek jebolan Universitas Kyoto. Di posisi lain, Tami
yang lulus dari Universitas yang sama dengan Jurusan Sastra dan Lingustik ingin
mendapatkan laki-laki yang penuh dengan kriteria. Dan ia ingin pulang ke
Indonesia untuk melancarkan segala obsesinya menemukan impiannya mencari
laki-laki yang sesuai kriterianya.
Mereka
mengheningkan cipta setelah kata “putus” terlantun untuk mengakhiri hubungan.
Sedih jalan cintaku ini? tapi aku tak boleh rapuh. Sejenak pikir
Tami sambil menatap, merasakan hembusan malam dengan daun mimoji yang
berguguran, segugur cintanya pada Raavi.
Dalam sepi, Tami memutar kenangannya. Di tempat
yang sama, dan kursi yang sama, ini tempat yang yang menjadi sejarah pertemuan
dan perpisahan di antara mereka.
Kota Kyoto, 2008
silam itu, awal cerita Tami mengenal sosok
Raavi. Tanpa senyum yang tersuguhkan, roman datar dengan rombongan
pelajar Indonesia di belakangnya, Ia berkata: ”Raavi Hasyim, dari Semarang”.
Tami menyambut
tangan itu. Tanganya halus, sehalus parasnya yang tak ditumbuhi jerawat setitik
merah pun. Penuh suka cita, perempuan dengan muka babyface itu menyahut, “Gautami Anindita. Panggil Tami saja.”
“Bagaimana
perjalanan dari Tokyo tadi?”
“Seperti
biasa—sedikit pusing diombang-ambing di udara.”
“Kok
diombang-ambing, memang kamu naik kapal?”
”Itu kan cu-ma
perumpamaan.”
Nada itu
terdengar kaku. Tami kontan tahu kalau Raavi adalah orang yang serius;
orang-orang yang tidak bisa di ajak bercanda. Selera humornya payah. Sementara
dari gaya bicaranya, Raavi tahu kalau Tami adalah yang ceria; perempuan yang
tidak membosankan untuk di pandang.
Tapi, setelah
sebulan berlalu, keakraban itu menjelma menjadi kehangatan. hari itu memang
beda. Gairah musim semi membuat seseorang melakukan hal di luar kenormalan;
kebiasan orang Jepang yang penuh kedisiplinan. Siang itu bunga sakura
terhamburan. Dengan bermandikan terik matahari di Ueno Park Tokyo, pertemuan
itu kembali terjadi. Komunitas pelajar Indonesia di Jepang berkumpul.
Kaleng coca-cola
merah, mie instan dalam cup steroform dengan termos kecil menjadi suguhkan mini
kala itu. Tami melemparkan senyum itu pada Raavi. Selama ini mereka hanya
bicara via telepon—hanya suara yang tersambung.
Semuanya
merebah, beralaskan hijaunya rumput jepang yang tajam. percakapan peduduk asli
Jepang berlalu lalang melintasi jalan taman. Mereka merasakan itu seperti
dentingan musik tanpa makna, tapi bisa dirasa. Tami, Raavi dan beberapa teman
lainnya memang belum paham dengan Bahasa Jepang. Yah, kalau yang sudah senior
akan paham, dengan anggukan kepalanya.
Di bawah pohon
sakura di Taman Ueno. Raavi dan Tami sengaja sedikit menjauhi teman-temannya.
Ada sektsa dengan porsi kecil yang ingin mereka mainkan. Kesunyian.
“Ini namanya
puncak Hanami. Gila, rasanya luar biasa,” ujar Raavi, sorotan matanya
menyeberang jauh.
“Hanami?” Tami
menyahut dengan senyum tolol. ”Istilah yang bagus.”
Kenangan manis
itu sungguh tak terlupakan bagi Tami. Tapi, keputusan untuk perpisahan saat ini
merupakan kepahitan sebagai awal keputusan. Mereka saling mengerti.
Langganan:
Postingan (Atom)