Rabu, 02 Oktober 2013

kilasan novel "3 pilihan"



1
POHON KEPUTUSAN

[Kota Arashiyama, Jepang. bulan Maret, 2010]
 Jam digital menunjukkan angka 20:13

Seperti sinar berlian di atas Sungai Katsura di malam hari. Kilat-kilat pancaran sinar rembulan yang dipantulkan beningnya air sungai. Kedua pasangan itu duduk dengan pandangan penuh pasrah. Waktu memberikan ruang keputusan yang cerah. Kehangatan yang selama ini mereka jalani runtuh sudah. Seruntuhnya tembok berlin, jerman. Rasa itu memang masih ada di hati keduanya. Tapi, keharuman mawar mekar tak akan abadi. Waktu membuat keharuman cinta mereka yang mekar telah gugur. Tapi, mereka membawanya dalam suasana ringan. Mereka saling menerima keputusan ini.
Waktu menghentikan keabadian. Mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Di bawah lampu taman, di tas kursi hitam di tepi sungai Kastura mereka menerima keputusan ini. Cinta mereka perlu pendewasaan. Bukan kan suatu hubungan perlu pengertian satu sama lain? laki-laki dan perempuan itu belum menemukan satu jalan yang saling beriringan.
Raavi dan Tami sama-sama serakah. Raavi serakah dengan proyek-proyek pembangunan di Jepang setelah lulus dari S1, Arsitek jebolan Universitas Kyoto. Di posisi lain, Tami yang lulus dari Universitas yang sama dengan Jurusan Sastra dan Lingustik ingin mendapatkan laki-laki yang penuh dengan kriteria. Dan ia ingin pulang ke Indonesia untuk melancarkan segala obsesinya menemukan impiannya mencari laki-laki yang sesuai kriterianya.
Mereka mengheningkan cipta setelah kata “putus” terlantun untuk mengakhiri hubungan.
Sedih jalan cintaku ini? tapi aku tak boleh rapuh. Sejenak pikir Tami sambil menatap, merasakan hembusan malam dengan daun mimoji yang berguguran, segugur cintanya pada Raavi.
Dalam  sepi, Tami memutar kenangannya. Di tempat yang sama, dan kursi yang sama, ini tempat yang yang menjadi sejarah pertemuan dan perpisahan di antara mereka.
Kota Kyoto, 2008 silam itu, awal cerita Tami mengenal sosok  Raavi. Tanpa senyum yang tersuguhkan, roman datar dengan rombongan pelajar Indonesia di belakangnya, Ia berkata: ”Raavi Hasyim, dari Semarang”.
Tami menyambut tangan itu. Tanganya halus, sehalus parasnya yang tak ditumbuhi jerawat setitik merah pun. Penuh suka cita, perempuan dengan muka babyface itu menyahut, “Gautami Anindita. Panggil Tami saja.”
“Bagaimana perjalanan dari Tokyo tadi?”
“Seperti biasa—sedikit pusing diombang-ambing di udara.”
“Kok diombang-ambing, memang kamu naik kapal?”
”Itu kan cu-ma perumpamaan.”
Nada itu terdengar kaku. Tami kontan tahu kalau Raavi adalah orang yang serius; orang-orang yang tidak bisa di ajak bercanda. Selera humornya payah. Sementara dari gaya bicaranya, Raavi tahu kalau Tami adalah yang ceria; perempuan yang tidak membosankan untuk di pandang.
Tapi, setelah sebulan berlalu, keakraban itu menjelma menjadi kehangatan. hari itu memang beda. Gairah musim semi membuat seseorang melakukan hal di luar kenormalan; kebiasan orang Jepang yang penuh kedisiplinan. Siang itu bunga sakura terhamburan. Dengan bermandikan terik matahari di Ueno Park Tokyo, pertemuan itu kembali terjadi. Komunitas pelajar Indonesia di Jepang berkumpul.
Kaleng coca-cola merah, mie instan dalam cup steroform dengan termos kecil menjadi suguhkan mini kala itu. Tami melemparkan senyum itu pada Raavi. Selama ini mereka hanya bicara via telepon—hanya suara yang tersambung.
Semuanya merebah, beralaskan hijaunya rumput jepang yang tajam. percakapan peduduk asli Jepang berlalu lalang melintasi jalan taman. Mereka merasakan itu seperti dentingan musik tanpa makna, tapi bisa dirasa. Tami, Raavi dan beberapa teman lainnya memang belum paham dengan Bahasa Jepang. Yah, kalau yang sudah senior akan paham, dengan anggukan kepalanya.
Di bawah pohon sakura di Taman Ueno. Raavi dan Tami sengaja sedikit menjauhi teman-temannya. Ada sektsa dengan porsi kecil yang ingin mereka mainkan. Kesunyian.
“Ini namanya puncak Hanami. Gila, rasanya luar biasa,” ujar Raavi, sorotan matanya menyeberang jauh.
“Hanami?” Tami menyahut dengan senyum tolol. ”Istilah yang bagus.”
Kenangan manis itu sungguh tak terlupakan bagi Tami. Tapi, keputusan untuk perpisahan saat ini merupakan kepahitan sebagai awal keputusan. Mereka saling mengerti.